Oleh
Patricius Marianus Botha, S.Fil.,M.Si
Pengajar Pembangunan Sosial di STPM Santa Ursula
RAKYATFLORES.COM | OPINI-Dalam wacana kebijakan publik, efisiensi anggaran sering dielu-elukan sebagai bentuk kemajuan dalam tata kelola pemerintahan. Anggaran yang terbatas diharapkan dapat digunakan secara optimal untuk mencapai hasil sebesar-besarnya. Namun, di balik semangat efisiensi itu, muncul ironi yang tidak banyak dibicarakan: praktik gratifikasi kerap menjadi “pelumas” informal untuk menyelamatkan sistem dari macetnya efisiensi yang terlalu teknokratis dan kaku.
Argumen ini terdengar kontradiktif secara etika, tetapi realitas birokrasi menunjukkan bahwa gratifikasi justru sering diandalkan untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh pemangkasan anggaran. Dalam proyek-proyek pelayanan publik, ketika biaya operasional ditekan seminimal mungkin atas nama efisiensi, maka pelaksanaan di lapangan sering menemui jalan buntu. Tidak ada biaya koordinasi, tidak cukup honor pelaksana, tidak tersedia dana penunjang teknis. Dalam kekosongan itu, muncullah “sumbangan sukarela”, “amplop ucapan terima kasih”, atau “fee informal” — bentuk-bentuk gratifikasi yang diam-diam dianggap sebagai mekanisme penyelamat kelancaran kerja.













